Add caption |
Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), 10 Desember 1982, menjadi awal lahirnya hukum laut yang mengakui adanya konsep Negara Kepulauan. Pemerintah Republik Indonesia (RI) kemudian meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 1985. Sejak tahun 1994, Hukum Laut Internasional resmi berlaku dan mulai saat itu pula bangsa Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya. Pasal 49 UNCLOS 1982 menyatakan kedaulatan dari negara kepulauan meliputi perairan-perairan yang tertutup oleh garis pangkal demikian pula wilayah udara di atasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya.
Tahun 1996, Pemerintah Indonesia mengusulkan kepada International Maritime Organization (IMO) tentang penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 8 UU No. 6/ 1996 tentang Perairan Indonesia, Alur Laut Kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing di atas alur tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk transit yang terus menerus, langsung, dan secepat mungkin serta tidak terhalang melalui atau di atas perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan di bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002, tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia, terdapat 3 (tiga) ALKI beserta cabang-cabangnya. Pertama, jalur pada ALKI I yang difungsikan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda ke Samudera Hindia, dan sebaliknya; dan untuk pelayaran dari Selat Singapura melalui Laut Natuna dan sebaliknya (Alur Laut Cabang I A). Kedua, jalur pada ALKI II yang difungsikan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makasar, Laut Flores, dan Selat Lombok ke Samudera Hindia, dan sebaliknya. Ketiga, jalur pada ALKI-III-A yang difungsikan untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu. ALKI III-A sendiri mempunyai 4 cabang, yaitu ALKI Cabang III B: untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti ke Samudera Hindia dan sebaliknya; ALKI Cabang III C: untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda ke Laut Arafura dan sebaliknya; ALKI Cabang III D: untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu ke Samudera Hindia dan sebaliknya; ALKI Cabang III E: untuk pelayaran dari Samudera Hindia melintasi Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Maluku.
Masing-masing ALKI mempunyai potensi ancaman yang dinilai relevan dan membutuhkan koordinasi yang lebih serius. Berdasarkan wawancara penulis dengan narasumber dari Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), masing-masing ALKI mempunyai potensi ancaman yang berbeda-beda. Potensi ancaman di ALKI I terkait imbas konflik klaim wilayah atas kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan, seperti digunakannya wilayah ALKI I untuk kegiatan manuver angkatan perang negara yang terlibat. Di samping itu, imbas kepadatan lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, seperti digunakannya wilayah ALKI I oleh perompak untuk menghindari kejaran aparat keamanan Indonesia dan aparat keamanan gabungan (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) atau penyelundupan. Imbas dari pusat pertumbuhan dan perekonomian Asia dan Asia Tenggara di Republik Rakyat Cina (RRC) dan Singapura, seperti penyelundupan barang-barang ilegal dan juga perdagangan manusia, turut menjadi potensi ancaman di ALKI I, termasuk imbas bahaya ancaman bencana alam dan tsunami di Selat Sunda, seperti ancaman gempa vulkanik/erupsi gunung berapi (anak Krakatau) dan imbas politik ekspansional Malaysia, seperti kemungkinan klaim wilayah teritorial baru.
Untuk ALKI II, potensi ancaman berasal dari imbas konflik Blok Ambalat, seperti digunakannya wilayah ALKI II untuk manuver angkatan perang negara tetangga dan imbas lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan, seperti penangkapan ikan dan sumber daya alam lainnya secara ilegal. Di samping itu, imbas dari pusat pariwisata dunia di Bali, seperti penyelundupan barang secara ilegal dan perdagangan manusia, serta terorisme dan imbas politik ekspansional Malaysia, seperti kemungkinan baru klaim wilayah teritorial setelah berhasil menguasai pulau Sipadan dan Ligitan, serta provokasi atas wilayah Blok Ambalat, juga merupakan potensi ancaman bagi ALKI II.
Sementara itu, untuk ALKI III, potensi ancaman berasal dari imbas konflik internal negara tetangga di utara (Filipina) dan selatan (Timor Leste), seperti dijadikannya wilayah ALKI IIIA sebagai sarana pelarian atau kegiatan lain yang membahayakan keamanan laut serta imbas dari lepasnya Timor Timur menjadi negara berdaulat (Timor Leste) terkait dengan blok migas di sebelah selatan pulau Timor, seperti pelanggaran wilayah, penyelundupan, dan klaim teritorial. Di samping itu, imbas konflik internal seperti separatisme Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku dan dan Gerakan Papua Merdeka (GPM) di Papua serta imbas politik luar negeri Australia, seperti pelebaran pengaruh Australia terhadap wilayah sekitar di utara (Indonesia, Timor Leste, dan Papua New Guinea) serta dukungannya terhadap gerakan separatisme dan juga imbas potensi sumber kekayaan alam melimpah yang belum terkelola, seperti pencurian ikan dan pencurian kekayaan alam lainnya, juga merupakan potensi ancaman tersendiri bagi ALKI III.
Diantara ALKI I, II, dan III, ALKI II merupakan lintasan laut dalam yang ekonomis dan aman untuk dilalui. ALKI II yang melewati Selat Makassar-Selat Lombok membelah sisi Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Lebih jauh, pendangkalan yang terjadi akhir-akhir ini di Selat Malaka menyebabkan kapal-kapal besar, terutama kapal tangki, memindahkan trayek pelayarannya melalui Selat Lombok-Selat Makassar. Sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional, ALKI II memiliki nilai strategis. ALKI II yang mencakup Selat Lombok, Selat Makassar, dan Laut Sulawesi menjadi penting dalam posisinya sebagai jalur pendukung utama dari Selat Malaka yang sudah amat padat.
Rahardjo Adisasmita, yang dikenal dengan konsep ”Kawasan Pembangunan SEMEJA”-nya, mengemukakan bahwa di masa depan Selat Lombok-Selat Makassar memegang peran kunci sebagai jalur pelayaran dunia, di mana jika garis jalur pelayaran vertikal dan garis jalur pelayaran horizontal ditarik pada bola dunia akan beririsan pada titik yang berada tepat di Selat Makassar. “Kawasan Pembangunan SEMEJA” adalah konsep yang khas dan diformulasikan untuk kawasan kepulauan. Konsep pengembangan SEMEJA ini dapat berbentuk selat, teluk, dan laut yang berfungsi untuk memfasilitasi berkembangnya kegiatan perdagangan dan transportasi antar daerah yang berada di sekelilingnya dengan berdasar pada prinsip saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling menguntungkan, di mana kota yang lebih kuat, besar, dan maju wajib mendorong dan menarik kota yang lebih “kecil” (Rahardjo Adisasmita, 2008). Adisasmita juga menyatakan bahwa Selat Makassar–Selat Lombok yang memotong Laut Jawa–Banda–Arafura menjadi penghubung dari Utara (Filipina) ke arah Selatan (Samudera Hindia) adalah sebagai alur utama transportasi laut internasional(international sea transportation highway).
Pada dasarnya, negara-negara di dunia sebagai pengguna jalur pelayaran dapat memilih jalur yang paling aman dan ekonomis dengan mematuhi ketentuan dalam UNCLOS 1982. Sebaliknya, negara yang dilalui seperti Indonesia, harus menjamin keamanan dan keselamatan alur laut tersebut di samping memanfaatkan peluang ekonomi dan meminimalkan kendala dari pilihan jalur tersebut (Hasim Djalal, 1995). Untuk itu, ALKI II sebagai jalur pelayaran dunia yang potensial di masa mendatang perlu mendapat perhatian terkait hal ini.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, peningkatan pertahanan-keamanan di wilayah ALKI II mengingat potensi ancaman yang dimiliki sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, baik dari negara tetangga maupun kapal-kapal asing, terutama potensi ancaman keamanan nontradisional. Peningkatan pertahanan-keamanan ini bisa dilakukan melalui peningkatan personel dan peralatan yang dimiliki TNI Angkatan Laut kita, maupun koordinasi keamanan laut yang efektif di bawah Bakorkamla. Kedua, perubahan paradigma lama dari continental-based development menjadimaritime/sea-based development sudah saatnya dilaksanakan secara konsisten, sehingga pemanfaatan ALKI II ini harus ditarik ke arah pertumbuhan ekonomi kawasan dan pembangunan wilayah. Peningkatan ekonomi di kawasan pesisir tentu diharapkan akan berkorelasi positif dengan pengurangan gangguan keamanan di laut. Ketiga, perlunya kajian komprehensif mengenai ALKI II, baik dari aspek pertahanan-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya sehingga mendapat pemetaan yang jelas mengenai potensi ancaman dan potensi ekonomi yang bisa dikembangkan masyarakat pesisir, terutama mendukung maritime/sea-based development. (yoyokpuspita1.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar